Kamis, 04 September 2014

Rumusan John Dewey terhadap 2 model pendidikan yang saling beroposisi

Rumusan John Dewey terhadap 2 model pendidikan yang saling beroposisi

No
Pendidikan tradisional: pusat pada guru
Pendidikan progresif: pusat pada murid
1


2


3

4


5

6

7

8

9

10
Pendidikan: transfer ilmu & keterampilan


Disiplin eksternal melalui pujian & hukuman

Murid belajar dari guru

Penguasaan ilmu & keterampilan dg drill


Titik berat materi: masa lampau

Pandangan dunia: statis

Pendidikan berpusat pd guru

Sikap murid: pasif, reseptif, patuh

Ilmu: sdh jadi, terbentuk, tersusun

Guru: pentransfer ilmu & keterampilan
Pendidikan: pengembangan seluruh potensi anak

Aktivitas bebas


Murid belajar dari pengalaman

Penguasaan materi hanya sarana bagi tujuan anak

Titik berat: masa sekarang

Dunia selalu berubah

Pendidikan berpusat pd murid

Murid aktif, mencari, bertanya

Ilmu: direkonstruksi terus-menerus

Guru: pengamat, fasilitator

Dewey menolak kedua model itu karena terlalu berat sebelah. Ia mencari basis baru: bukan berpusat pada guru dan bukan pada murid, tetapi pada pengalaman. Konsepsi Dewey tentang pengalaman sangat sentral bagi pandangannya tentang pendidikan.

Dikembangkan dari sumber:

John Dewey, Experience & Education, New York: Macmillan Publishing Company, 1963, hlm. 17-23.

SKETSA PEMIKIRAN JOHN DEWEY

SKETSA  PEMIKIRAN  JOHN  DEWEY

Pertanyaan dasar sebagai titik pijak:
mana yang lebih fundamental: ilmu pengetahuan atau berpikir?
Berpikir. Ilmu pengetahuan hanyalah produk dari proses berpikir yang sudah disistematisasi.

Kapan orang berpikir?
Sejak bayi.
Setiap kali bayi menangis, ibu datang. Lama-lama ia melihat relasi antara menangis dan kedatangan ibu. Bayi ingin supaya ibu datang, maka ia menangis. Ia sudah dapat membuat kesimpulan. Dengan itu, ia sudah dapat mengarahkan hidupnya.

Dengan berpikir, manusia tumbuh (to grow).

Konsekuensi bagi pendidikan.
1.      Pendidikan semestinya membantu anak supaya dapat berpikir sendiri sehingga dapat mandiri dalam mengembangkan seluruh potensinya.
2.      Tujuan pendidikan = tujuan hidup, yaitu to grow (bukan to develop)
3.      Pertanyaan mengenai apakah pendidikan harus berpusat pada guru atau murid samasekali tidak relevan karena yang penting adalah membantu anak untuk dapat berpikir sendiri.
4.      Harus ditemukan basis baru bagi pendidikan: bukan guru dan bukan murid.

Basis baru itu apa?
Pengalaman

Apa itu pengalaman?
1.      Pengalaman: interaksi antara individu dengan lingkungannya (fisik dan sosial).
2.      Karena berupa interaksi, ada 2 unsur fundamental dalam pengalaman: aktif dan pasif. Hanya salah satu unsur saja bukanlah pengalaman.
3.      Nilai pengalaman: refleksi: melihat relasi antara unsur aktif dan pasif.
4.      Refleksi = berpikir.
5.      Mengerti arti pengalaman = mengerti relasi antara kedua unsur itu.
6.      Dengan mengerti relasi itu orang dapat mengarahkan pengalaman selanjutnya, atau orang dapat sengaja mengarahkan suatu proses untuk mencapai tujuan tertentu.
7.      Pengalaman betapapun remehnya dapat menjadi titik pijak untuk berpikir secara efektif (Contoh: Newton kejatuhan buah apel: inspirasi untuk merumuskan teori gravitasi).

Apa syarat supaya orang dapat berpikir secara efektif (bukan menghafal, bukan mengulang)?
kalau ada masalah.

Mengapa?
1.      Masalah mendorong orang untuk berpikir secara orisinil dan kreatif agar menemukan pemecahan (bukan hanya menghafal atau mengulang apa yang sudah pernah dikatakan orang pada masa lampau). Itu berarti ada unsur kebaruan.
2.      Orang terdorong untuk menggunakan segala kemungkinan (pengetahuan, buku, fantasi, teman, hafalan, pendidik, pakar dst) untuk memecahkan masalah. Pengetahuan dst hanyalah sarana untuk memecahkan masalah (instrumentalisme).


Apa itu pendidikan?
1.      Definisi pendidikan: „rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah arti pengalaman dan yang memperbesar kemampuan untuk mengarahkan pengalaman berikutnya.“
2.      Di situ tercakup 3 dimensi waktu: masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.
3.      Pembelajaran: membentuk the ability to learn from experience.
4.      Pendidik perlu mendampingi anak to learn how to learn (tekanan pada metode berpikir dan memperoleh pengetahuan, bukan isi pengetahuan).
5.      Metode: metode berpikir reflektif atau yang dikenal sebagai problem solving method dalam kelompok.
6.      Mengapa dalam kelompok?
Rangsangan efektif untuk tumbuhnya seluruh potensi secara integral terwadahi di situ: potensi
a.       psikologis: ketekunan, kesabaran, ketelitian, daya juang, rasa ingin tahu, minat, fantasi, keberanian, rasa percaya diri, dst
b.      intelektual: berpikir, observasi, memori, penilaian, analisis, logika, komparasi, membuat kesimpulan dst
c.       sosial: komunikasi, leadership, kesetaraan, argumentasi, pelayanan, demokrasi, keadilan, persaudaraan, kebebasan, tanggung jawab, dst
d.      moral: keadilan, cinta, keberanian, daya tahan, ketabahan, penguasaan diri, kebijaksanaan, dst.
e.       fisik: pengalaman langsung dengan objek-objek konkret dengan hasil yang konkret, problem teratasi, tindakan direalisasikan.

Bagaimanakah langkah-langkah metode berpikir reflektif atau metode pemecahan masalah?
1.      Penemuan masalah
2.      Pembatasan masalah
3.      Pencarian kemungkinan jawaban-jawaban
4.      Pilihan jawaban yang terbaik (hipotesis)
5.      Pengujian jawaban yang terbaik itu dalam eksperimen

Syarat-syarat untuk dapat berpikir secara reflektif: harus ada:
1.      pengalaman (seluas jagad sejauh bisa dijangkau manusia)
2.      data
3.      kemungkinan untuk membuat suatu kesimpulan sementara
4.      kemungkinan untuk menguji kesimpulan itu


(Konsekuensi-konsekuensi pemikiran Dewey dalam pendidikan sampai detailnya ke berbagai mata pelajaran tidak dibahas di sini karena keterbatasan tempat).

CIRI-CIRI KECERDASAN EMOSIONAL MENURUT DANIEL GOLEMAN

MAKALAH
Mata Kuliah Landasan Pendidikan (PDW2217)
CIRI-CIRI KECERDASAN EMOSIONAL MENURUT DANIEL GOLEMAN
Dosen pengampu: Gregorius Ari Nugrahanta, SJ, S.S., BST, M.A
                                                                                                                              



Disusun oleh:
Martinus Putu Ardi Kristiyanta          (131134085)
Eka Novi Kristanti                              (131134086)
Aisyah Desmaniar                               (131134087)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
2014



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Wilhem Stern seorang psikolog Jerman mengungkapkan sebuah konsep bahwasannya kecerdsasan seseorang sebenarnya bisa diukur. Dengan mengacu kepada para pakar pendahulunya yaitu Alfred Binnet dan Theodore Simon, Stern mengungkapkan bahwa IQ (intelegent Quotient) seseorang bisa menjadi ukuran kecerdasannya. Sejak saat itu juga kemampuan “matematis” seseorang sering dijadikan suatu standar bahwa seseorang itu cerdas
Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata tes inteligensi memiliki kekurangan atau kelemahan. Kekurangan itulah yang melatarbelakangi  munculnya teori baru dan sebagai alat untuk menyerang  teori tersebut.  Teori baru ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman yang dikenal dengan istilah Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence). Menurut Goleman, EQ sama ampuhnya dengan IQ, dan bahkan lebih. Terlebih dengan adanya hasil riset terbaru yang menyatakan bahwa kecerdasan kognitif (IQ)  bukanlah ukuran kecerdasan (Intelligence) yang sebenarnya, ternyata emosilah parameter yang  paling menentukan dalam kehidupan manusia.
Menurut Goleman (IQ) hanya mengembangkan 20 % terhadap kemungkinan kesuksesan hidup,  sementara 80 % lainnya  diisi oleh kekuatan-kekuatan lain. Ungkapan Goleman ini  seolah menjadi jawaban bagi situasi  ‘aneh’ yang sering terjadi di tengah masyarakat,  di mana ada orang-orang yang diketahui ber-IQ tinggi ternyata tidak mampu mencapai prestasi yang lebih baik dari sesama yang ber-IQ lebih rendah.
Kelebihan  lain dari kecerdasan emosi ini adalah kenyataan bahwa kecerdasan  emosi bukanlah kecerdasan statis yang diperoleh karena ‘warisan’ orang tua seperti IQ. Selama ini  telah diketahui bahwa seseorang yang terlahir dengan IQ rendah tidak dapat direkayasa untuk menjadi seorang jenius. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang dilahirkan dari orang tua ber-IQ tinggi kemungkinan besar akan ‘mengikuti jejak’ orang tuanya dengan ber-IQ tinggi juga. Adapun  kecerdasan emosi dapat tumbuh dan berkembang seumur hidup dengan belajar. Cerdas tidaknya emosi seseorang tergantung pada proses pembelajaran, pengasahan, dan pelatihan yang dilakukan sepanjang hayat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pandangan Daniel Goleman engenai kecerdasan emosional?
2.      Apakah definisi kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman?
3.      Apa saja ciri-ciri kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui pandangan Daniel Goleman engenai kecerdasan emosional.
2.      Mengetahui definisi kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman.
3.      Mengetahui Apa saja ciri-ciri kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman.


BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Kecerdasan Emosional
Akar kata emosi adalah : movere  kata kerja bahasa Latin  yang berarti “menggerakkan, bergerak”  ditambah awalan  “e”  untuk memberi arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak  merupakan hal mutlak dalam emosi. pada dasarnya adalah  dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur (evolusi), dan emosi  juga sebagai  perasaan dan fikiran-fikiran khas, suatu keadaan biologis, dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi dapat dikelompokkan pada rasa amarah, kesedihan, takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel dan malu. Dalam kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar bebas dari stres, tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati, dan berdoa. Dengan demikian yang dimaksud dengan Kecerdasan Emosional menurut Goleman adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda keputusan, serta mengatur  keadaan jiwa.  Kemampuan seseorang untuk memahami serta mengatur suasana hati agar tidak melumpuhkan kejernihan berfikir otak rasional, tetapi mampu menampilkan beberapa kecakapan, baik kecakapan pribadi maupun kecakapan antar pribadi. Dilihat dari segi peserta didik, siswa yang merasa kecerdasan emosionalnya baik, dengan contoh siswa merasa senang, akan bergairah dan semangat dalam belajar, disamping motivasi belajar. Dengan demikian, perasaan siswa menjadi suatu sumber energi dalam belajar. Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Gardner mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
B.           Ciri-ciri kecerdasan Emosional
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Disimpulkan bahwa 5 ciri-ciri seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi menurut teori Goleman dapat ditabelkan berikut ini:

1.      Kesadaran diri
            Kesadaran diri menurut Goleman bukanlah perhatian yang larut ke dalam emosi akan tetapi lebih merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi diri di tengah badai emosi. Hal ini juga dikenal dengan istilah “Stemming dasar” atau nada dasar alam perasaan, yang lebih kurang menetap.
Menurut Goleman Kesadaran diri yaitu mengetahui apa yang ia rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri, dan kepercayaan diri yang kuat. Goleman memaparkan contoh kesadaran diri yaitu :
“Alkisah, di Jepang ada seorang Samurai yang suka bertarung. Samurai ini menantang seorang guru Zen untuk menjelaskan konsep surga dan neraka. Tetapi pendeta menjawab dengan nada menghina, ”Kau hanyalah orang bodoh, aku tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk orang macam kamu.” Merasa harga diri direndahkan, Samurai itu naik darah. Sambil menghunus pedang, ia berteriak, ”Aku dapat membunuhmu karena kekurangajaranmu.” “Nah,” jawab pendeta itu dengan tenang, ”Itulah neraka.” Takjub melihat kebenaran yang ditunjukkan oleh sang guru, amarah yang menguasai diri samurai itu menjadi tenang, menyarungkan pedangnya, dan membungkuk sambil mengucapkan terima kasih pada sang pendeta itu atas penjelasannya. ”Dan” kata sang pendeta, ”Itulah surga.”
Kesadaran mendadak Samurai terhadap gejolak perasaannya adalah inti dari kecerdasan emosional, yaitu kesadaran akan perasaan diri sendiri waktu perasaan itu timbul (goleman, 2006: 62). Kesadaran diri tidak terbatas pada mengamati diri dan mengenali perasaan akan tetapi juga menghimpun kosa kata untuk perasaan dan mengetahui hubungan antara  fikiran, perasaan, dan reaksi. Kesadaran diri memang penting apabila seseorang ceroboh, tidak memperhatikan dirinya secara akurat, maka hal itu akan merugikan dirinya dan berdampak negatif  bagi oarang lain.
Kesadaran diri sangat penting dalam pembentukan konsep diri yang positif. Konsep diri adalah pandangan pribadi terhadap diri sendiri, yang mencakup tiga aspek yaitu :
1)        Kesadaran emosi,  yaitu tahu tentang bagaimana pengaruhnya emosi terhadap kinerja, dan kemampuan menggunakan nilai-nilai untuk memandu pembuatan keputusan.
2)        Penilaian diri secara akurat, yaitu perasaan yang tulus tentang kekuatan-kek kekuatan dan batas-batas pribadi, visi yang jelas tentang mana yang perlu diperbaiki, dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman orang lain.
3)        Percaya diri  yaitu keyakinan tentang harga diri dan kemampuan diri.

2.      Pengaturan Diri
         pengaturan diri adalah pengelolaan impuls dan perasaan yang menekan. Dalam kata Yunani kuno, kemampuan ini disebut sophrosyne, “hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan, dan kebijaksanaan yang terkendali” sebagaimana yang diterjemahkan oleh Page Dubois, seorang pakar bahasa Yunani. Menurut Goleman, lima kemampuan pengaturan diri yang umumnya dimiliki oleh star performer adalah pengendalian diri, dapat dipercaya, kehati-hatian, adaptabilitas, dan inovasi.
a.    Pengendalian Diri
Pengendalian diri adalah mengelola dan menjaga agar emosi dan impuls yang merusak tetap terkendali.
b.   Dapat dipercaya dan kehati-hatian yaitu memelihara norma kejujuran dan integritas.
c.    Kehati-hatian, yaitu dapat diandalkan dan bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban.
d.   Adaptabilitas yaitu keluwesan dalam menanggapi perubahan dan tantangan.
e.    Inovasi yaitu bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan dan pendekatan-pendekatan baru, serta informasi terkini.

3.      Motivasi
         Motivasi yaitu menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun  menuju sasaran, membantu untuk mengambil inisiatif untuk bertindak secara efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan atau frustasi.
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting yang berkaitan dengan memberi perhatian, memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri, dan berkreasi.
Untuk menumbuhkan motivasi seseorang perlu adanya kondisi flow pada diri orang tersebut. Flow adalah keadaan lupa sekitar, lawan dari lamunan dan kekhawatiran, bukannya tenggelam dalam kesibukan yang tak tentu arah. Momen flow tidak lagi bermuatan ego. Flow merupakan puncak kecerdasan emosional. Dalam flow emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan, akan tetapi juga bersifat mendukung, memberi tenaga, dan selaras dengan tugas yang dihadapi. Terperangkap dalam kebosanan, depresi, atau kemeranaan kecemasan menghalangi tercapainya keadaan flow. Orang yang dalam keadaan flow menampilkan penguasaan hebat terhadap apa yang mereka kerjakan, respon mereka sempurna  senada dengan  tuntutan yang selalu berubah dalam tugas itu, dan meskipun  orang menampilkan puncak kinerja saat sedang flow, mereka tidak lagi peduli pada bagaimana mereka bekerja, pada fikiran sukses atau gagal. Kenikmatan  tindakan itu sendiri yang  memotivasi mereka. Salah satu cara untuk mencapai flow adalah dengan sengaja memusatkan perhatian sepenuhnya pada tugas yang sedang dihadapi. Keadaan konsentrasi tinggi merupakan  inti dari kinerja yang flow.
Adapun selain itu yang berkaitan dengan motivasi adalah optimisme. optimisme seperti harapan berarti memiliki pengharapan yang kuat bahwa secara umum, segala sesuatu dalam kehidupan akan sukses kendati ditimpa kemunduran dan frustasi. Dari titik pandang kecerdasan emosional, optimisme merupakan sikap yang menyangga orang agar  jangan sampai jatuh dalam kemasabodohan, keputusasaan atau depresi bila dihadang kesulitan, karena optimisme membawa keberuntungan dalam kehidupan asalkan optimisme itu realistis. Menurut Goleman ciri-ciri dari orang yang memiliki  kecakapan optimis adalah sebagai berikut: 
a.       Tekun dalam mengejar sasaran kendati banyak halangan dan kegagalan.
b.      Bekerja dengan harapan untuk sukses bukannya takut gagal.
c.       Memandang kegagalan atau kemunduran sebagai situasi yang dapat dikendalikan  ketimbang sebagai kekurangan pribadi.

4.       Empati
Empati adalah memahami perasaan dan masalah orang lain dan berfikir dengan sudut pandang mereka, menghargai perbedaan perasaan orang mengenai berbagai hal. Menurut Goleman, kemampuan mengindera perasaan seseorang sebelum yang bersangkutan mengatakannya merupakan intisari empati. Orang sering mengungkapkan perasaan mereka lewat kata-kata, sebaliknya mereka memberi tahu orang lewat nada suara, ekspresi wajah, atau cara komunikasi non-verbal lainnya. Kemampuan memahami cara-cara komunikasi yang sementara ini dibangun di atas kecakapan-kecakapan yang lebih mendasar, khususnya kesadaran diri (self awareness)  dan kendali diri (self control). Tanpa kemampuan mengindera perasaan individu  atau menjaga perasaan itu tidak membingungkan seseorang, manusia tidak akan peka terhadap perasaan orang lain. Tingkat empati tiap individu berbeda-beda. Menurut Goleman, pada tingkat yang paling rendah, empati mempersyaratkan kemampuan membaca emosi orang lain, pada tataran yang lebih tinggi, empati mengharuskan seseorang mengindera sekaligus menanggapi kebutuhan atau perasaan seseorang yang tidak diungkapkan lewat kata-kata. Diantara yang paling tinggi, empati adalah menghayati masalah  atau kebutuhan-kebutuhan yang tersirat di balik perasaan seseorang.
Namun ada kalanya seseorang tidak memiliki kemampuan  berempati, empati tidak ditemukan kepada orang yang melakukan kejahatan-kejahatan sadis. Suatu cacat psikologis yang ada umumnya ditemukan pada pemerkosa, pemerkosa anak-anak, dan para pelaku tindak kejahatan rumah tangga. Orang-orang ini tidak mampu berempati, ketidakmampuan untuk merasakan penderitaan korbannya memungkinkan mereka melontarkan kebohongan kepada diri mereka sendiri sebagai pembenaran atas kejahatannya. Hilangnya empati sewaktu orang-orang melakukan kejahatan pada korbannya hampir senantiasa merupakan bagian dari siklus emosional yang mempercepat tindakan kejamnya.
5.      Keterampilan sosial
Keterampilan sosial (social skills), adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan untuk bekerjasama dalam tim. Dalam mengelola emosi sendiri yang pada akhirnya manusia harus mampu menangani emosi orang lain. Menurut Goleman, menangani emosi orang lain adalah seni yang mantap untuk menjalin hubungan, membutuhkan kematangan dua keterampilan emosional lain, yaitu manajemen diri dan empati. Dengan landasan keduanya, keterampilan berhubungan dengan orang lain akan matang. Ini merupakan kecakapan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tidak dimilikinya kecakapan ini akan membawa pada ketidakcakapan dalam dunia sosial atau terulangnya bencana antar pribadi. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan inilah yang menyebabkan orang-orang yang mempunyai nilai akademik yang tinggi gagal dalam membina hubungannya. Secara lebih luas, Goleman menjelaskan bahwa keterampilan sosial, yang makna intinya adalah seni menangani emosi orang lain, merupakan dasar bagi beberapa kecakapan :
a.       Pengaruh yaitu terampil menggunakan perangkat persuasi secara efektif. Orang dengan kecakapan ini:
b.      Komunikasi, yaitu mendengarkan serta terbuka dan mengirimkan pesan serta meyakinkan. Orang dengan kecakapan ini:
c.       Manajemen konflik, yaitu merundingkan dan menyelesaikan ketidaksepakatan.
d.      Kepemimpinan, yaitu mengilhami dan membimbing individu atau kelompok.
e.       Katalisator perubahan, yaitu mengawali atau mengelola perubahan.
f.       Membangun hubungan, yaitu menumbuhkan hubungan yang bermanfaat.
g.      Kolaborasi dan kooperasi, yaitu kerja sama dengan orang lain demi tujuan bersama.
h.      Kemampuan tim, yaitu menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama.


BAB III
KESIMPULAN

1.      Menurut Goleman (IQ) hanya mengembangkan 20 % terhadap kemungkinan kesuksesan hidup,  sementara 80 % lainnya  diisi oleh kekuatan-kekuatan lain. Ungkapan Goleman ini  seolah menjadi jawaban bagi situasi  ‘aneh’ yang sering terjadi di tengah masyarakat,  di mana ada orang-orang yang diketahui ber-IQ tinggi ternyata tidak mampu mencapai prestasi yang lebih baik dari sesama yang ber-IQ lebih rendah.
Kelebihan  lain dari kecerdasan emosi ini adalah kenyataan bahwa kecerdasan  emosi bukanlah kecerdasan statis yang diperoleh karena ‘warisan’ orang tua seperti IQ. Selama ini  telah diketahui bahwa seseorang yang terlahir dengan IQ rendah tidak dapat direkayasa untuk menjadi seorang jenius. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang dilahirkan dari orang tua ber-IQ tinggi kemungkinan besar akan ‘mengikuti jejak’ orang tuanya dengan ber-IQ tinggi juga. Adapun  kecerdasan emosi dapat tumbuh dan berkembang seumur hidup dengan belajar. Cerdas tidaknya emosi seseorang tergantung pada proses pembelajaran, pengasahan, dan pelatihan yang dilakukan sepanjang hayat.

2.      Kecerdasan Emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda keputusan, serta mengatur  keadaan jiwa ( Goleman, 1997 ).

3.      menurut Goleman (2002:63), disimpulkan bahwa 5 ciri-ciri seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi menurut teori Goleman dapat ditabelkan berikut ini:
·         kesadaran diri.
·         Pengaturan diri.
·         Motivasi diri
·         Empati diri.
·         Keteramilan social.


REFERENSI

 Goleman, D. (2006). Emotional Intelligence, kecerdasan emosional, mengapa EI lebih penting daripada IQ. Jakarta: Gramedia.
Goleman, D. (2000). Kecerdasan emosi untuk mencapai puncak prestasi. Jakarta: Gramedia.






 
Copyright 2009 KAMPUS