MAKALAH
Mata
Kuliah Landasan Pendidikan (PDW2217)
CIRI-CIRI
KECERDASAN EMOSIONAL MENURUT DANIEL GOLEMAN
Dosen
pengampu: Gregorius Ari Nugrahanta, SJ, S.S., BST, M.A
Disusun
oleh:
Martinus
Putu Ardi Kristiyanta (131134085)
Eka
Novi Kristanti (131134086)
Aisyah
Desmaniar (131134087)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN
ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SANATA DHARMA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Wilhem Stern seorang psikolog Jerman
mengungkapkan sebuah konsep bahwasannya kecerdsasan seseorang sebenarnya bisa
diukur. Dengan mengacu kepada para pakar pendahulunya yaitu Alfred Binnet dan
Theodore Simon, Stern mengungkapkan bahwa IQ (intelegent Quotient) seseorang
bisa menjadi ukuran kecerdasannya. Sejak saat itu juga kemampuan “matematis”
seseorang sering dijadikan suatu standar bahwa seseorang itu cerdas
Namun seiring berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, ternyata tes inteligensi memiliki kekurangan atau
kelemahan. Kekurangan itulah yang melatarbelakangi munculnya teori baru
dan sebagai alat untuk menyerang teori tersebut. Teori baru ini
dipopulerkan oleh Daniel Goleman yang dikenal dengan istilah Kecerdasan Emosi
(Emotional Intelligence). Menurut Goleman, EQ sama ampuhnya dengan IQ, dan
bahkan lebih. Terlebih dengan adanya hasil riset terbaru yang menyatakan bahwa
kecerdasan kognitif (IQ) bukanlah ukuran kecerdasan (Intelligence) yang
sebenarnya, ternyata emosilah parameter yang paling menentukan dalam
kehidupan manusia.
Menurut Goleman (IQ) hanya
mengembangkan 20 % terhadap kemungkinan kesuksesan hidup, sementara 80 %
lainnya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain. Ungkapan Goleman ini
seolah menjadi jawaban bagi situasi ‘aneh’ yang sering terjadi di tengah
masyarakat, di mana ada orang-orang yang diketahui ber-IQ tinggi ternyata
tidak mampu mencapai prestasi yang lebih baik dari sesama yang ber-IQ lebih
rendah.
Kelebihan lain dari kecerdasan emosi ini adalah kenyataan bahwa
kecerdasan emosi bukanlah kecerdasan statis yang diperoleh karena
‘warisan’ orang tua seperti IQ. Selama ini telah diketahui bahwa
seseorang yang terlahir dengan IQ rendah tidak dapat direkayasa untuk menjadi
seorang jenius. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang dilahirkan dari orang
tua ber-IQ tinggi kemungkinan besar akan ‘mengikuti jejak’ orang tuanya dengan
ber-IQ tinggi juga. Adapun kecerdasan emosi dapat tumbuh dan berkembang
seumur hidup dengan belajar. Cerdas tidaknya emosi seseorang tergantung pada
proses pembelajaran, pengasahan, dan pelatihan yang dilakukan sepanjang hayat.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana pandangan Daniel Goleman
engenai kecerdasan emosional?
2. Apakah definisi kecerdasan emosional
menurut Daniel Goleman?
3. Apa saja ciri-ciri kecerdasan
emosional menurut Daniel Goleman?
C.
Tujuan
1. Mengetahui pandangan Daniel Goleman
engenai kecerdasan emosional.
2. Mengetahui definisi kecerdasan emosional
menurut Daniel Goleman.
3. Mengetahui Apa saja ciri-ciri
kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kecerdasan Emosional
Akar kata emosi adalah : movere
kata kerja bahasa Latin yang
berarti “menggerakkan, bergerak”
ditambah awalan “e” untuk memberi arti “bergerak menjauh”,
menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak
merupakan hal mutlak dalam emosi. pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika
untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur
(evolusi), dan emosi juga sebagai perasaan dan fikiran-fikiran khas, suatu
keadaan biologis, dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk
bertindak. Emosi dapat dikelompokkan pada rasa amarah, kesedihan, takut,
kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel dan malu. Dalam kesenangan, mengatur
suasana hati dan menjaga agar bebas dari stres, tidak melumpuhkan kemampuan
berfikir, berempati, dan berdoa. Dengan demikian yang dimaksud dengan Kecerdasan
Emosional menurut Goleman adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam
memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan
menunda keputusan, serta mengatur keadaan jiwa. Kemampuan seseorang untuk memahami serta
mengatur suasana hati agar tidak melumpuhkan kejernihan berfikir otak rasional,
tetapi mampu menampilkan beberapa kecakapan, baik kecakapan pribadi maupun
kecakapan antar pribadi. Dilihat dari segi peserta didik, siswa yang merasa
kecerdasan emosionalnya baik, dengan contoh siswa merasa senang, akan bergairah
dan semangat dalam belajar, disamping motivasi belajar. Dengan demikian,
perasaan siswa menjadi suatu sumber energi dalam belajar.
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat
menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama
orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan
kecerdasan emosional.
Gardner
mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting
untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang
lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial,
kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh
Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai
kecerdasan emosional.
B.
Ciri-ciri kecerdasan Emosional
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan
emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi
diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan
kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Disimpulkan bahwa 5 ciri-ciri
seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi menurut teori Goleman dapat
ditabelkan berikut ini:
1.
Kesadaran
diri
Kesadaran
diri menurut Goleman bukanlah perhatian yang larut ke dalam emosi akan tetapi
lebih merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi diri di tengah badai
emosi. Hal ini juga dikenal dengan istilah “Stemming
dasar” atau nada dasar alam perasaan, yang lebih kurang menetap.
Menurut Goleman Kesadaran diri yaitu
mengetahui apa yang ia rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk
memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis
atas kemampuan diri, dan kepercayaan diri yang kuat. Goleman memaparkan contoh
kesadaran diri yaitu :
“Alkisah, di Jepang ada seorang
Samurai yang suka bertarung. Samurai ini menantang seorang guru Zen untuk
menjelaskan konsep surga dan neraka. Tetapi pendeta menjawab dengan nada
menghina, ”Kau hanyalah orang bodoh, aku tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk
orang macam kamu.” Merasa harga diri direndahkan, Samurai itu naik darah.
Sambil menghunus pedang, ia berteriak, ”Aku dapat membunuhmu karena
kekurangajaranmu.” “Nah,” jawab pendeta itu dengan tenang, ”Itulah neraka.”
Takjub melihat kebenaran yang ditunjukkan oleh sang guru, amarah yang menguasai
diri samurai itu menjadi tenang, menyarungkan pedangnya, dan membungkuk sambil
mengucapkan terima kasih pada sang pendeta itu atas penjelasannya. ”Dan” kata
sang pendeta, ”Itulah surga.”
Kesadaran
mendadak Samurai terhadap gejolak perasaannya adalah inti dari kecerdasan
emosional, yaitu kesadaran akan perasaan diri sendiri waktu perasaan itu timbul
(goleman, 2006: 62). Kesadaran diri tidak terbatas pada mengamati diri dan
mengenali perasaan akan tetapi juga menghimpun kosa kata untuk perasaan dan
mengetahui hubungan antara fikiran,
perasaan, dan reaksi. Kesadaran diri memang penting apabila seseorang ceroboh,
tidak memperhatikan dirinya secara akurat, maka hal itu akan merugikan dirinya
dan berdampak negatif bagi oarang lain.
Kesadaran diri sangat penting dalam pembentukan
konsep diri yang positif. Konsep diri adalah pandangan pribadi terhadap diri
sendiri, yang mencakup tiga aspek yaitu :
1)
Kesadaran emosi, yaitu tahu tentang
bagaimana pengaruhnya emosi terhadap kinerja, dan kemampuan menggunakan
nilai-nilai untuk memandu pembuatan keputusan.
2)
Penilaian diri secara akurat, yaitu perasaan yang tulus tentang kekuatan-kek kekuatan dan batas-batas pribadi, visi
yang jelas tentang mana yang perlu diperbaiki, dan kemampuan untuk belajar dari
pengalaman orang lain.
3)
Percaya diri yaitu keyakinan tentang
harga diri dan kemampuan diri.
2. Pengaturan Diri
pengaturan
diri adalah pengelolaan impuls dan perasaan yang menekan. Dalam kata Yunani
kuno, kemampuan ini disebut sophrosyne,
“hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan, dan kebijaksanaan
yang terkendali” sebagaimana yang diterjemahkan oleh Page Dubois, seorang pakar
bahasa Yunani. Menurut Goleman, lima kemampuan pengaturan diri yang umumnya
dimiliki oleh star performer adalah
pengendalian diri, dapat dipercaya, kehati-hatian, adaptabilitas, dan inovasi.
a.
Pengendalian
Diri
Pengendalian diri adalah mengelola
dan menjaga agar emosi dan impuls yang merusak tetap terkendali.
b.
Dapat
dipercaya dan kehati-hatian yaitu memelihara norma kejujuran dan integritas.
c.
Kehati-hatian,
yaitu dapat diandalkan dan bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban.
d.
Adaptabilitas
yaitu keluwesan dalam menanggapi perubahan dan tantangan.
e.
Inovasi
yaitu bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan dan pendekatan-pendekatan baru,
serta informasi terkini.
3. Motivasi
Motivasi
yaitu menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu untuk mengambil
inisiatif untuk bertindak secara efektif, dan untuk bertahan menghadapi
kegagalan atau frustasi.
Menata
emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting yang
berkaitan dengan memberi perhatian, memotivasi diri sendiri, menguasai diri
sendiri, dan berkreasi.
Untuk
menumbuhkan motivasi seseorang perlu adanya kondisi flow pada diri orang tersebut. Flow
adalah keadaan lupa sekitar, lawan dari lamunan dan kekhawatiran, bukannya
tenggelam dalam kesibukan yang tak tentu arah. Momen flow tidak lagi bermuatan ego.
Flow merupakan puncak kecerdasan emosional. Dalam flow emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan, akan tetapi juga
bersifat mendukung, memberi tenaga, dan selaras dengan tugas yang dihadapi. Terperangkap
dalam kebosanan, depresi, atau kemeranaan kecemasan menghalangi tercapainya
keadaan flow. Orang yang dalam
keadaan flow menampilkan penguasaan
hebat terhadap apa yang mereka kerjakan, respon mereka sempurna senada dengan
tuntutan yang selalu berubah dalam tugas itu, dan meskipun orang menampilkan puncak kinerja saat sedang flow, mereka tidak lagi peduli pada
bagaimana mereka bekerja, pada fikiran sukses atau gagal. Kenikmatan tindakan itu sendiri yang memotivasi mereka. Salah satu cara untuk
mencapai flow adalah dengan sengaja
memusatkan perhatian sepenuhnya pada tugas yang sedang dihadapi. Keadaan
konsentrasi tinggi merupakan inti dari
kinerja yang flow.
Adapun
selain itu yang berkaitan dengan motivasi adalah optimisme. optimisme seperti harapan
berarti memiliki pengharapan yang kuat bahwa secara umum, segala sesuatu dalam
kehidupan akan sukses kendati ditimpa kemunduran dan frustasi. Dari titik
pandang kecerdasan emosional, optimisme merupakan sikap yang menyangga orang
agar jangan sampai jatuh dalam
kemasabodohan, keputusasaan atau depresi bila dihadang kesulitan, karena
optimisme membawa keberuntungan dalam kehidupan asalkan optimisme itu
realistis. Menurut Goleman ciri-ciri dari orang yang memiliki kecakapan optimis adalah sebagai berikut:
a.
Tekun
dalam mengejar sasaran kendati banyak halangan dan kegagalan.
b.
Bekerja
dengan harapan untuk sukses bukannya takut gagal.
c. Memandang kegagalan atau kemunduran
sebagai situasi yang dapat dikendalikan
ketimbang sebagai kekurangan pribadi.
4. Empati
Empati adalah memahami perasaan dan
masalah orang lain dan berfikir dengan sudut pandang mereka, menghargai
perbedaan perasaan orang mengenai berbagai hal. Menurut Goleman, kemampuan
mengindera perasaan seseorang sebelum yang bersangkutan mengatakannya merupakan
intisari empati. Orang sering mengungkapkan perasaan mereka lewat kata-kata,
sebaliknya mereka memberi tahu orang lewat nada suara, ekspresi wajah, atau
cara komunikasi non-verbal lainnya.
Kemampuan memahami cara-cara komunikasi yang sementara ini dibangun di atas
kecakapan-kecakapan yang lebih mendasar, khususnya kesadaran diri (self awareness) dan kendali diri (self control). Tanpa kemampuan mengindera perasaan individu atau menjaga perasaan itu tidak membingungkan
seseorang, manusia tidak akan peka terhadap perasaan orang lain. Tingkat empati
tiap individu berbeda-beda. Menurut Goleman, pada tingkat yang paling rendah,
empati mempersyaratkan kemampuan membaca emosi orang lain, pada tataran yang
lebih tinggi, empati mengharuskan seseorang mengindera sekaligus menanggapi
kebutuhan atau perasaan seseorang yang tidak diungkapkan lewat kata-kata.
Diantara yang paling tinggi, empati adalah menghayati masalah atau kebutuhan-kebutuhan yang tersirat di
balik perasaan seseorang.
Namun ada kalanya seseorang tidak
memiliki kemampuan berempati, empati
tidak ditemukan kepada orang yang melakukan kejahatan-kejahatan sadis. Suatu
cacat psikologis yang ada umumnya ditemukan pada pemerkosa, pemerkosa
anak-anak, dan para pelaku tindak kejahatan rumah tangga. Orang-orang ini tidak
mampu berempati, ketidakmampuan untuk merasakan penderitaan korbannya memungkinkan
mereka melontarkan kebohongan kepada diri mereka sendiri sebagai pembenaran
atas kejahatannya. Hilangnya empati sewaktu orang-orang melakukan kejahatan
pada korbannya hampir senantiasa merupakan bagian dari siklus emosional yang mempercepat
tindakan kejamnya.
5.
Keterampilan
sosial
Keterampilan
sosial (social skills), adalah
kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang
lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan
lancar, menggunakan keterampilan untuk mempengaruhi dan memimpin,
bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan untuk bekerjasama dalam tim. Dalam
mengelola emosi sendiri yang pada akhirnya manusia harus mampu menangani emosi
orang lain. Menurut Goleman, menangani emosi orang lain adalah seni yang mantap
untuk menjalin hubungan, membutuhkan kematangan dua keterampilan emosional
lain, yaitu manajemen diri dan empati. Dengan landasan keduanya, keterampilan
berhubungan dengan orang lain akan matang. Ini merupakan kecakapan sosial yang
mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tidak dimilikinya
kecakapan ini akan membawa pada ketidakcakapan dalam dunia sosial atau terulangnya
bencana antar pribadi. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya
keterampilan-keterampilan inilah yang menyebabkan orang-orang yang mempunyai
nilai akademik yang tinggi gagal dalam membina hubungannya. Secara lebih luas,
Goleman menjelaskan bahwa keterampilan sosial, yang makna intinya adalah seni
menangani emosi orang lain, merupakan dasar bagi beberapa kecakapan :
a. Pengaruh yaitu terampil menggunakan
perangkat persuasi secara efektif. Orang dengan kecakapan ini:
b. Komunikasi, yaitu mendengarkan serta
terbuka dan mengirimkan pesan serta meyakinkan. Orang dengan kecakapan ini:
c. Manajemen konflik, yaitu
merundingkan dan menyelesaikan ketidaksepakatan.
d. Kepemimpinan, yaitu mengilhami dan
membimbing individu atau kelompok.
e. Katalisator perubahan, yaitu
mengawali atau mengelola perubahan.
f. Membangun hubungan, yaitu
menumbuhkan hubungan yang bermanfaat.
g. Kolaborasi dan kooperasi, yaitu
kerja sama dengan orang lain demi tujuan bersama.
h. Kemampuan tim, yaitu menciptakan
sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama.
BAB III
KESIMPULAN
1. Menurut Goleman (IQ) hanya
mengembangkan 20 % terhadap kemungkinan kesuksesan hidup, sementara 80 %
lainnya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain. Ungkapan Goleman ini
seolah menjadi jawaban bagi situasi ‘aneh’ yang sering terjadi di tengah
masyarakat, di mana ada orang-orang yang diketahui ber-IQ tinggi ternyata
tidak mampu mencapai prestasi yang lebih baik dari sesama yang ber-IQ lebih
rendah.
Kelebihan lain dari kecerdasan emosi ini adalah kenyataan bahwa
kecerdasan emosi bukanlah kecerdasan statis yang diperoleh karena
‘warisan’ orang tua seperti IQ. Selama ini telah diketahui bahwa
seseorang yang terlahir dengan IQ rendah tidak dapat direkayasa untuk menjadi
seorang jenius. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang dilahirkan dari orang
tua ber-IQ tinggi kemungkinan besar akan ‘mengikuti jejak’ orang tuanya dengan
ber-IQ tinggi juga. Adapun kecerdasan emosi dapat tumbuh dan berkembang
seumur hidup dengan belajar. Cerdas tidaknya emosi seseorang tergantung pada
proses pembelajaran, pengasahan, dan pelatihan yang dilakukan sepanjang hayat.
2. Kecerdasan Emosional adalah
kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam
menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda keputusan, serta
mengatur keadaan jiwa ( Goleman, 1997 ).
3. menurut Goleman (2002:63),
disimpulkan bahwa 5 ciri-ciri seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi menurut
teori Goleman dapat ditabelkan berikut ini:
·
kesadaran
diri.
·
Pengaturan
diri.
·
Motivasi
diri
·
Empati
diri.
·
Keteramilan
social.
REFERENSI
Goleman, D. (2006). Emotional Intelligence,
kecerdasan emosional, mengapa EI lebih penting daripada IQ. Jakarta: Gramedia.
Goleman, D. (2000). Kecerdasan emosi
untuk mencapai puncak prestasi. Jakarta: Gramedia.